Seni Rupa Kontemporer Indonesia

visi diatas langit

  • Blog Stats

    • 31.916 hits
  • Klik tertinggi

    • Tidak ada
  • Oktober 2007
    S S R K J S M
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Halo dunia!

Posted by apridinoto pada Oktober 31, 2007

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

2 Tanggapan to “Halo dunia!”

  1. WordPress said

    Hai, ini adalah komentar,
    Untuk menghapus komentar, silakan login dan lihat komentar pada postingan, disitu Anda dapat mengedit atau menghapusnya.

  2. Excellent !

    Review yang bagus Jok !

    Ya, aku mengikuti perihal Stuckism ini . Beberapa asumsi pokok dibalik ide Stuckism sama dengan ide awal gerakan seni postmo. Hanya pada perkembangannya, pasar mereduksinya dan meletakkanya sebagai benda ekonomis.

    Tapi kita lihat dalam konteks di Indonesia, pasar telah belajar banyak dari perdebatan “wacana pasar vs pasar wacana” era 90-an yang memiliki asumsi bahwa yang melulu pasar (laku) itu miskin wacana , dan karya yang sarat dengan wacana itu tidak laku. Walau asumsi ini sepintas terlihat naif, akan tetapi pada praksisnya, cukup ampuh mengedukasi pasar.

    Kalau Anda lihat, era 90 akhir hingga kini pasar memainkan fungsi wacana jauh lebih progresif dibanding kaum yang mati-matian menolaknya dan akhirnya terserap. Demikian pula dengan kaum intelektual yang memainkan fungsinya menjadi legitimator pasar. Apa yang keliru disini?

    Ini menjadi pertanyaan kritis, kalau kita jeli kita bisa lihat negara betul-betul absen dalam situasi ini, dan akhirnya pasar berkembang tanpa kendali. Resiko ini yang berdampak pada konteks di Indonesia. Pada titik ini posisi tawar publik menjadi lemah sebab Negara yang seharusnya memperjuangkan hak sipil (seniman) ini tidak berfungsi, dan menyerahkannya pada “etika pasar”.

    Pertanyaanya, mengapa akhirnya pasar yang mengambil alih “etika publik”? Kita tahu tidak hanya pada birokrasi seni, akan tetapi secara menyeluruh tingkat kepercayaan publik pada manajemen negara juga merosot. Lalu adakah publik masih punya ruang gerak dan posisi tawar pada pasar?

    Stuckism ini menjadi alternatif.

    Dan yang kita lihat bagaimana situasi di Indonesia ini pada sejumlah fenomena. Yaitu bagaimana berkembang pola-pola jenial yang dilakukan anak muda. Tak tanggung-tanggung, mereka tidak melakukan jarak sama sekali dengan pasar. Bahkan ada tepat di jantung pasar yaitu industri. Bukan dalam pengertian industri manufaktur, tetapi pada skala mikro dan bersifat massif !

    Disini semangat Stuckism ini persis dengan bentuk-bentuk gerakan ini yaitu:

    1. Percaya pada skill individu/kolektif
    2. Memakai piranti teknologi, seperti internet, dan perangkat hardware.
    3. Melalukan strategi re-copy, yaitu pinjam tanda mainstream, dan disesuaikan dengan strategi tanda mereka.
    4. Cenderung mendukung gerakan sosial baru pada isu lingkungan, animal liberation, gerakan kembali bersepeda, dan lain-lain.

    Artinya, disitu pengertian dan fungsi modal menjadi isu penting. Modal yang didapat dari pasar, digunakan untuk mencerdaskan, mengubah nasib ekonomi, dan terus menginisiasi kelompok-kelompok yang dibisukan oleh pasar. Tujuannya agar terjadi dialektika dalam tubuh pasar sendiri untuk menciptkan etika pasar yang jauh lebih fair dan sehat.

    Where is state dalam hal ini?

    Disejumlah negara seperti Inggris, creative movement ini cepat ditanggap dan didukung oleh negara, dan berhasil menyelamatkan dan menghidupi kaum muda secara lebih masif. Kita jangan dulu cepat menyimpulkan apakah ini hegemoni atau bukan, tapi seperti sebuah norma, bila negara gagal dalam memfasilitasi tanda ini, dengan sendirinya negara akan terus ditinggal oleh masyarakatnya.

    Lalu bagaimana di Indonesia?

    Ada, tapi masih begitu lambat. Karena:

    1.Macetnya pengetahuan dalam melihat bentuk-bentuk kreativitas ini
    2.Masih dominannya, pengetahuan mainstream, yang out of date dan tidak lagi kontekstual dalam membaca modal kreatifitas yang lain
    3.Gagalnya upaya edukasi pada publik entah oleh negara bahkan oleh pelaku seni itu sendiri.
    4.Masih kuatnya pandangan romantik, bahwa seni ada hanya untuk melayani dirinya sendiri

    Persoalannya ketika pasar telah mencerdaskan dirinya dengan cepat, ini tidak diimbangi oleh sipil yang jauh dari penetrasi edukasi negara. Berikut bagaimana terjadi gejala pembodohan sipil dan hanya meraup hasil tanpa punya sensibilitas untuk memberi edukasi yang relevan dengan kebutuhan sipil.

    So Jok,

    Blog ini adalah satu usaha pencerdasan itu.

    Gejala “kreativitas tandingan” di Indonesia ini cukup menarik. Bandung menjadi salah satu miniatur keberhasilan anak mudanya dalam mengedukasi dirinya dan terjadi perubahan ekonomi dalam kelas mereka dari ketergantungannya dari raksasa ekonomi manufaktur.

    Poin yang penting adalah ketika gerakan ini masih memiliki ruang lapang untuk memproduksi tanda, dan ini keren !

    Salam

    Sudjud

Tinggalkan Balasan ke WordPress Batalkan balasan